Minggu, 17 April 2011

GANGGUAN KELENJAR SALIVA DAN LICHEN PLANUS PADA PASIEN YANG TERINFEKSI DENGAN VIRUS HEPATITIS C KRONIS

PENDAHULUAN


Virus Hepatitis C, diselimuti rantai tunggal RNA Virus yang diidentifikasi oleh Choo dkk (1989) di Amerika Serikat dan sekarang dikenal sebagai etiologi utama agen parenteral menular hepatitis non-A, non-B di seluruh dunia. WHO memperkirakan bahwa sekitar 3% dari penduduk dunia (170-200 juta orang) terinfeksi dengan Virus Hepatitis C dan berada pada risiko berkembang menjadi sirosis hati dan / atau kanker hati. Meskipun ada faktor-faktor resiko yang menegaskan dengan baik transmisi hepatitis C seperti penyalahgunaan obat intravena, bekas transfusi darah atau produk darah, atau seks dengan pasangan yang terinfeksi, sekitar 10% dari pasien dengan hepatitis C kronis tanpa faktor risiko yang jelas dapat ditemukan.1

Hepatitis C kronis pada kecepatan lambat tidak memperlihatkan tanda-tanda dan gejala selama dua dekade pertama setelah infeksi dalam banyak kasus. Namun, Hepatitis C kronis mengarah ke sirosis pada sekitar 30% dari pasien dan berhubungan dengan peningkatan risiko kanker hati.

Pasien yang terinfeksi dengan Virus Hepatitis C sering tampak dengan manifestasi ekstra-hepatik, mungkin sebagai akibat dari infiltrasi virus pada jaringan atau mekanisme yang memicu imunologi. Contohnya termasuk penyakit Hashimoto, cryglobulinaemia, dan arthiritis, porphria cutanea tarda (PCT), Lichen Planus, DM, Limfoma, peripheral neuropati dan gangguan kelenjar saliva.1
TINJAUAN PUSTAKA
KELENJAR SALIVA
Kelenjar saliva adalah kelenjar eksokrin yang mensekresikan cairan ludah (saliva) ke dalam rongga mulut. Kelenjar saliva dan saliva juga merupakan bagian dari sistem imun mukosa. Sel-sel plasma dalam kelenjar saliva menghasilkan antibodi, terutama sekali dari kelas Ig A, yang ditransportasikan ke dalam saliva. Selain itu, beberapa jenis enzim antimikrobial terkandung dalam saliva seperti lisozim, laktoferin dan peroksidase. 2,3
Ada beberapa penyakit lokal tertentu yang mempengaruhi kelenjar saliva dan menyebabkan berkurangnya aliran saliva. Sialodenitis kronis lebih umum mempengaruhi kelenjar submandibula dan parotis. Penyakit ini menyebabkan degenerasi dari sel asini dan penyumbatan duktus. Kista-kista dan tumor kelenjar saliva, baik yang jinak maupun ganas dapat menyebabkan penekanan pada struktur-struktur duktus dari kelenjar saliva dan dengan demikian mempengaruhi sekresi saliva. Sindrom Sjogren merupakan penyakit autoimun jaringan ikat yang dapat mempengaruhi kelenjar airmata dan kelenjar saliva. Sel-sel asini kelenjar saliva rusak karena infiltrasi limfosit sehingga sekresinya berkurang.3
Adanya gangguan pada kelenjar saliva dapat menyebabkan penurunan produksi saliva yang akan menimbulkan gejala mulut kering atau xerostomia. Akibat mulut kering (xerostomia) yaitu:3
- Mukosa mulut kering, mudah teriritasi
- Sukar berbicara
- Sukar mengunyah dan menelan
- Persoalan dengan protesa
- Penimbunan lendir Rasa seperti terbakar
- Gangguan pengecapan
- Perubahan jaringan lunak
- Pergeseran dalam mikroflora mulut
- Karies gigi meningkat
- Radang periodonsium
- Halitosis
Anatomi kelenjar Saliva
Berdasarkan ukurannya kelenjar saliva terdiri dari 2 jenis, yaitu kelenjar saliva mayor dan kelenjar saliva minor. 4
a. Kelenjar saliva mayor terdiri dari: 4
· Kelenjar parotis
Kelenjar parotis adalah kelenjar saliva yang terbesar. Terletak dibagian bawah telinga dibelakang ramus mandibula. Kelenjar parotis dikelilingi oleh ramus mandibula dan mensekresikan saliva melalui Duktus Stensen menuju kavum oral untuk membantu mengunyah dan menelan.
· Kelenjar Submandibularis
Kelenjar Submandibula adalah sepasang kelenjar terletak dibagian bawah korpus mandibula. Produksi sekresinya adalah campuran serous dan mukous dan masuk ke mulut melalui duktus Wharton. Walaupun lebih kecil daripada kelenjar parotis, sekitar 70% saliva di kavum oral diproduksi oleh kelenjar ini.
· Kelenjar Sublingualis
Kelenjar Sublingual adalah sepasang kelenjar yang terletak di bawah lidah di dekat kelenjar submandibula. Sekitar 5% air liur yang masuk ke kavum oral keluar dari kelenjar ini.

Gambar 1 : Kelenjar Saliva Mayor 1. Kelenjar Parotid,
2. Kelenjar Submandibular, 3. Kelenjar Sublingual
Kelenjar Saliva Minor
Kebanyakan kelenjar ludah merupakan kelenjar kecil-kecil yang terletak di dalam mukosa atau submukosa (hanya menyumbangkan 5% dari pengeluaran ludah dalam 24 jam) yang diberi nama sesuai lokasinya atau nama pakar yang menemukannya. Semua kelenjar ludah mengeluarkan sekretnya kedalam rongga mulut.4
· Kelenjar labial (glandula labialis) terdapat pada bibir atas dan bibir bawah dengan asinus-asinus seromukus
· Kelenjar bukal (glandula bukalis) terdapat pada mukosa pipi, dengan asinus-asinus seromukus
· Kelenjar Bladin-Nuhn ( Glandula lingualis anterior) terletak pada bagian bawah ujung lidah disebelah menyebelah garis, median, dengan asinus-asinus seromukus
· Kelenjar Von Ebner (Gustatory Gland = albuminous gland) terletak pada pangkal lidah, dnegan asinus-asinus murni serous
· Kelenjar Weber yang juga terdapat pada pangkal lidah dengan asinus-asinus mukus. Kelenjar Von Ebner dan Weber disebut juga glandula lingualis posterior, kelenjar-kelenjar pada palatum dengan asinus mukus .
Komposisi Saliva.5
a. Komponen anorganik terbanyak adalah sodium, potassium (sebagai kation), khlorida, dan bikarbonat (sebagai anion-nya).
b. Komponen organik pada saliva meliputi protein yang berupa enzim amilase, maltose, serum albumin, asam urat, kretinin, mucin, vitamin C, beberapa asam amino, lisosim, laktat, dan beberapa hormon seperti testosteron dan kortisol.
c. Selain itu, saliva juga mengandung CO2,O2, dan N2, dan juga mengandung immunoglobin, IgA dan IgG dengan konsentrasi rata-rata 9,4 dan 0,32 mg%.
d. Saliva terdiri dari; 99,5% air dan 0.05% serosa. Fisik produksinya 1500 ml/hari, dengan PH=7,0 (6,2-7,6).
Fungsi saliva / air liur.6
a. Menghaluskan dan membentuk makanan menjadi bolus-bolus sehingga dapat ditelan dengan mudah.
b. Melarutkan makanan secara kimia untuk pengecapan rasa
c. Melembabkan dan melumasi makanan sehingga dapat ditelan.
d. Saliva juga memberikan kelembaban pada bibir dan lidah sehingga terhindar dari kekeringan.
e. Memecah karbohidrat,zat tepung menjadi polisakarida dan maltose, suatu disakarida. ( karena adanya enzim amilase dalam saliva).
f. Berfungsi untuk membersihkan rongga mulut dan gigi serta mencegah kerusakan gigi oleh karena ada zat antibakteri dan antibodi dalam saliva.
g. Mencegah kerusakan dan erosi pada gigi.
h. Meminimalisir keasaman dalam rongga mulut, mencegah kerusakan struktur gigi saat terjadi muntah.
i. Proses remineralisasi karena dalam saliva terkandung Ion-ion seperti Ca, P.
j. Membantu proses bicara dengan memudahkan gerakan bibir dan lidah.
LICHEN PLANUS
Lichen Planus adalah suatu kondisi inflamatori autoimun kronis yang menyebabkan sebuah erupsi pruritic (gatal), papular (terdapat papula) yang ditandai dengan warna biru keungu-unguan; bentuknya polygonal; dan terkadang berskala beraturan. Paling sering ditemukan pada permukaan flexor ekstremitas atas, genitalia, mukosa pipi, gingiva, bibir, dan bagian tubuh lainnya.7,8
Lichen Planus merupakan sebuah respon kekebalan yang dimediasi sel dengan asal-usul yang tidak diketahui. Lichen Planus bisa ditemukan bersama dengan penyakit gangguan sistem kekebalan lainnya antara lain colitis ulceratif, alopecia areata, vitiligo, demartomyositis, morphea, lichen sclerosis, dan myasthenia gravis. Ada hubungan yang ditemukan antara Lichen Planus dengan infeksi virus hepatitis C, hepatitis aktif kronis, dan cirrhosis biliary primer.7
Lichen planus pada rongga mulut (Oral Lichen Planus) adalah lesi mukokutaneus yang relatif sering terjadi. Axell clan Rundquist (1987) mendapatkan prevalensi 1,9% pada populasi umum di Swedia. Lesi pada rongga mulut dapat disertai dengan lesi pada membrana mukosa yang lain ataupun pada kulit terutama pada pergelangan tangan dan kaki. Lesi pada rongga mulut dapat dijumpai hampir 50% dimulai lebih dahulu dengan adanya lesi pada kulit, tetapi hanya berkisar 5%-10% yang dimulai pada rongga mulut baru kemudian dijumpai lesi pada kulit.9
Gambaran klinis lichen planus dapat terbagi atas berberapa tipe yaitu, retikular, papular, plak, atropi, hula dan erosif. Dikarenakan berbagai variasi gambaran klinis dari lichen planus dan penyebabnya yang tidak diketahui, diagnosa definitif sulit ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi harus dilaksanakan untuk mendapatkan diagnosa yang tepat . Hal ini dipertegas dengan adanya laporan-laporan para peneliti bahwa 0,5%-2,6% di antara pasien lichen planus rongga mulut berubah menjadi lesi ganas.9
Diagnosa definitif daripada lichen planus harus didapat dari diagnosa klinis didukung dengan pemeriksaan histopatologi. Gambaran klinis dari lichen planus oral yang klasik dapat dengan mudah dikenal yaitu dengan dijumpai lesi putih yang menyebar di mukosa bukal sebelah kanan dan kiri (simetris) berbentuk seperti jala yang rata dengan mukosa sekitarnya. Namun demikian gambaran yang klasik (tipe retikular) tidak selalu terlihat pada pasien lichen planus oral. Lichen planus oral yang berbentuk seperti plak sering terdapat pada dorsum lidah, sedangkan yang berbentuk seperti bula ataupun papula adalah yang paling jarang terlihat dan tipe ini sering terlihat dengan tipe retikular (termasuk tipe campuran). Tipe atropi adalah berbentuk mukosa yang memerah dikarenakan epiteliumnya mengalami atropi. Tipe erosif adalah bentuk yang telah mengalami ulserasi dengan perluasan yang bervariasi. Banyak pasien yang tidak mengetahui awal terjadinya lichen planus. Hal ini disebabkan tipe retikular, tipe plak dan tipe papula bebas dari rasa sakit. Tipe atropi, erosif maupun hula adalah tipe yang disertai rasa tidak enak seperti nyeri sampai rasa terbakar terutama sewaktu makan yang pedas ataupun panas.9

HEPATITIS
Hepatitis merupakan peradangan pada hati yang disebabkan oleh banyak hal namun yang terpenting diantaranya adalah karena infeksi virus-virus hepatitis. Virus-virus ini selain dapat memberikan peradangan hati akut, juga dapat menjadi kronik. Virus-virus hepatitis dibedakan dari virus-virus lain yang juga dapat menyebabkan peradangan pada hati oleh karena sifat hepatotropik virus-virus golongan ini. Petanda adanya kerusakan hati (hepatocellular necrosis) adalah meningkatnya transaminase dalam serum terutama peningkatan alanin aminotransferase (ALT) yang umumnya berkorelasi baik dengan beratnya nekrosis pada sel-sel hati.10
Hepatitis kronik dibedakan dengan hepatitis akut apabila masih terdapat tanda-tanda peradangan hati dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan. Virus-virus hepatitis penting yang dapat menyebabkan hepatitis akut adalah virus hepatitis A (VHA), B (VHB), C (VHC) dan E (VHE) sedangkan virus hepatitis yang dapat menyebabkan hepatitis kronik adalah virus hepatitis B dan C.10
Hepatitis C kronis didefinisikan sebagai infeksi dengan virus hepatitis C yang berlangsung lebih dari enam bulan. Klinis, sering asimtomatik (tanpa gejala) dan sebagian besar ditemukan secara tidak sengaja (misalnya pemeriksaan biasa).11
Kasus alami hepatitis C kronis sangat bervariasi dari satu orang ke orang lain. Meskipun hampir semua orang terinfeksi virus hepatitis C memiliki bukti peradangan pada biopsi hati, tingkat pengembangan jaringan parut hati (fibrosis) menunjukkan variasi yang signifikan antara individu. Perkiraan akurat risiko dari waktu ke waktu sulit untuk ditentukan karena keterbatasan waktu virus.11
Data terakhir menunjukkan bahwa di antara pasien yang tidak diobati, kemajuan sekitar sepertiga untuk sirosis hati dalam waktu kurang dari 20 tahun. Lain kemajuan ketiga untuk sirosis dalam waktu 30 tahun. Sisanya pasien menampakkan kemajuan sangat lambat bahwa mereka tidak mungkin menjadi sirosis dalam hidup mereka. Sebaliknya konsensus NIH pedoman menyatakan bahwa risiko pengembangan menjadi sirosis selama periode 20-tahun adalah 3-20 persen.11
Faktor-faktor yang telah dilaporkan untuk mempengaruhi laju perkembangan penyakit virus hepatitis C meliputi umur (usia meningkat dikaitkan dengan pengembangan yang lebih cepat), jenis kelamin (laki-laki memiliki perkembangan penyakit lebih cepat dari betina), konsumsi alkohol (terkait dengan tingkat peningkatan pengembangan penyakit), koinfeksi HIV (terkait dengan tingkat nyata peningkatan pengembangan penyakit), dan hati lemak (kehadiran lemak dalam sel hati telah dikaitkan dengan tingkat peningkatan pengembangan penyakit).11
Gejala khusus sugestif penyakit hati biasanya absen sampai jaringan parut besar hati telah terjadi. Namun, hepatitis C adalah penyakit sistemik dan pasien mungkin mengalami spektrum yang luas dari manifestasi klinis mulai dari tidak adanya gejala ke gejala penyakit yang lebih sebelum perkembangan penyakit hati lanjut. Generalized tanda-tanda dan gejala yang berhubungan dengan hepatitis C termasuk kelelahan kronis, gejala-gejala mirip flu, nyeri sendi, gatal, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, mual, dan depresi.11
Sekali hepatitis C kronis telah berkembang ke sirosis, tanda dan gejala dapat muncul yang umumnya disebabkan oleh salah satu fungsi hati mengalami penurunan atau peningkatan tekanan dalam sirkulasi hati, kondisi yang dikenal sebagai hipertensi portal. Kemungkinan tanda-tanda dan gejala sirosis hati termasuk ascites (penumpukan cairan di perut), memar dan pendarahan kecenderungan, varises (vena membesar, terutama di perut dan kerongkongan), sakit kuning, dan sindrom penurunan kognitif yang dikenal sebagai ensefalopati hati. ensefalopati hati adalah disebabkan oleh akumulasi amonia dan zat lain yang biasanya dibersihkan oleh hati yang sehat. 11
PEMBAHASAN
Peran infeksi virus hepatitis C dalam menyebabkan lichen planus adalah kontroversial seperti banyak penelitian dari seluruh dunia, termasuk beberapa penelitian dari berbagai bagian India, telah menunjukkan hasil bertentangan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sadian Rizwan dkk (2010) ada hubungan antara hepatitis C dengan kekeringan mulut dan Oral Lichen Planus.1
Manifestasi Penyakit Hepatitis Terhadap Rongga Mulut:12
1. Pada penyakit hati, terutama atresia bilier dan hepatitis neonatal, dapat terjadi diskolorisasi pada gigi sulung. Dimana, pada atresia bilier gigi akan berwarna hijau, sedangkan pada hepatitis neonatal berwarna kuning. Keadaan ini disebabkan oleh depositnya bilirubin pada email dan dentin yang sedang dalam tahap perkembangan.
2. Menyebabkan oral hygiene buruk, dalam hal ini bau mulut tidak sedap
3. Hepatitis aktif kronis dapat menyebabkan gangguan endokrin sehingga menimbulkan penyakit multiple endokrinopati keturunan dan kandidosis mukokutaneus.
4. Kegagalan hati dapat menyebabkan timbulnya foetor hepatikum. Dimana, foetor hapatikum sering disebut dalam sejumlah istilah seperti: bau “amine”, bau “kayu lapuk”, bau “ tikus “ dan bahkan bau “bangkai segar”.
5. Sirosis hati dapat menyebabkan hiper pigmentasi pada mulut.
6. Timbul ulkus - ulkus karena berkurangnya zat – zat vitamin dan gizi dalam rongga mulut.
7. Proses makan menjadi tidak benar sehingga peran saliva terganggu.
Sejumlah mekanisme yang mungkin patogen termasuk mediasi sel sitotoksik / respon terhadap epitop bersama dengan virus hepatitis C dan kerusakan keratinocytes dan peran yang mungkin untuk autoantibodi yang diarahkan langsung ke epitop epitel.1
Sebuah fitur konstan dalam pasien lichen planus dengan infeksi virus hepatitis C adalah adanya hypergammaglobulinemia poliklonal. Hal ini tampaknya tidak
disebabkan oleh peningkatan frekuensi non-organ-khusus autoantibodi, meskipun anti-epitel antibodi telah terdeteksi dengan frekuensi jauh lebih tinggi
pada pasien dengan oral lichen planus terkait virus hepatitis C dibanding mereka yang tanpa infeksi virus hepatitis C. Berdasarkan temuan dalam literatur, oral lichen planus dan mungkin sialadenitis berhubungan secara signifikan dengan infeksi virus hepatitis C, dan virus dapat terlibat dalam patogenesis kedua penyakit, mungkin melalui jalur imunologi masih harus didefinisikan. 13
Penurunan tingkat aliran saliva pada individu hepatitis C yang terinfeksi kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal. Teori-teori utama termasuk infiltrasi kelenjar saliva oleh virus atau mungkin virus berperan dalam mekanisme kekebalan. Carrozzo dan Gandolfo (2003) mengatakan bahwa virus hepatitis C mampu menginfeksi kelenjar saliva, Peran saliva sebagai mekanisme pertahanan host dikenal dengan baik dan xerostomia digambarkan mempengaruhi pasien dengan infeksi virus hepatitis C serta karies gigi dan penyakit jaringan lunak pada mulut.1,13
KESIMPULAN
Virus hepatitis C dapat menjadi kontributor penyebab gangguan kelenjar saliva dan oral lichen planus. Karena tingginya prevalensi infeksi virus hepatitis C dan pengaruh yang berpotensi besar bahwa penyakit mulut mungkin terkait dengan virus pada kualitas hidup jutaan pasien, diperlukan penelitian
untuk mengeksplorasi kondisi mulut pasien dengan infeksi virus hepatitis C.


DAFTAR ISTILAH
Alopecia areata : suatu kondisi rambut rontok yang umumnya terjadi pada daerah yang berbatas tegas seperti kulit kepala atau kadang dapat juga terjadi pada janggut.
Arthritis : radang sendi.
Colitis ulceratif : bentuk penyakit radang usus.
Cryoglobulinaemia : suatu kondisi medis di mana darah mengandung sejumlah besar cryoglobulins (protein yang tidak larut pada suhu rendah).
Dermatomyositis : gangguan system kekebalan tubuh (auto immune system) yang menyerang otot dan kulit sendiri.\
Fetor hepatikum : bau apek manis yang ditemukan pada bau mulut penderita hepatitis, terjadi akibat ketidakmampuan hati dalam metabolisme metionin.
Keratinocytes : sel inti yang ada di dalam epidermis kulit.
Lichen sclerosis : penyakit yang jarang terjadi yang penyebabnya tidak diketahui yang mengakibatkan bercak putih pada kulit, yang dapat menyebabkan luka pada dan sekitar alat kelamin kulit.
Limfoma : kanker yang tumbuh akibat mutasi sel limfosit (sejenis sel darah putih) yang sebelumnya normal
Morphea : suatu kelainan dengan ciri khas berupa penebalan dan indurasi pada kulit dan jaringan subkutan yang disebabkan penumpukan dari kolagen yang berlebihan.
Myasthenia gravis : penyakit autoimun neuromuskuler yang menyebabkan kelemahan otot berfluktuasi.
Neuropati perifer : istilah untuk kerusakan saraf dari sistem saraf perifer , yang mungkin disebabkan baik oleh penyakit atau trauma pada saraf atau efek samping dari penyakit sistemik.
Penyakit Hashimoto : suatu kelainan yang mempengaruhi tiroid, kelenjar kecil yang terletak di pangkal leher, di bawah jakun.
Porfiria cutanea tarda (PCT) : subtipe yang paling umum dari porfiria (gangguan enzim tertentu)
Vitiligo : salah satu penyakit kulit di mana warna kulit berkurang yang akan menimbulkan bercak-bercak putih pada kulit.


DAFTAR PUSTAKA
1. Rizwan S, Rizwan M, & Naveed A. The prevalence of salivary gland disorders and lichen planus in patients infected with chronic hepatitis c virus. Pakistan Oral & Dental Journal. 2010; 30 (2): 358-62.
2. Sihombing AMDR. Manifestasi klinis infeksi virus pada kelenjar saliva dan perawatannya. Available from: URL: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/8551 diakses tanggal 1 April 2011.
3. Hasibuan S. Keluhan mulut kering ditinjau dari faktor penyebab, manifestasi dan penanggulangannya. USU digital library. 2002: 1-8.
4. Pengertian dan fungsi saliva. Available from: URL: http://m13ke.wordpress.com/2008/11/25/pengertian-dan-fungsi-saliva/ diakses tanggal 1 April 2011.
5. Domi. Kelenjar saliva / glandula salivaria. Available from: URL: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/dentistry-oral-medicine/2111518-kelenjar-saliva-glandula-salivaria/ diakses tanggal 1 April 2011
6. Domi. Fungsi saliva / air liur. Available from: URL: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/medicine-history/2111520-fungsi-saliva-air-liur/ diakses tanggal 1April 2011.
7. Masdin. Penjelasan tentang lichen planus. Available from: URL: http://www.topreference.co.tv/2010/05/penjelasan-tentang-lichen-planus.html. diakses tanggal 1 April 2011.
8. Amelia A. Oral lichen planus. Available from: URL: http://amaliapradana.blogspot.com/2010/09/oral-lichen-planus.html. diakses tanggal 1 April 2011.
9. Primasari A. Peranan pemeriksaan histopatologi dalam menegakkan diagnosa lichen planus di rongga mulut. USU digital library. 2003: 1-7.
10. Gani RA. Pengobatan terkini hepatitis kronik B dan C. Divisi Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2005: 1-6.
11. News medical. Apa itu hepatitis. Available from: URL: http://www.news-medical.net/health/What-is-Hepatitis-C-%28Indonesian%29.aspx diakses tanggal 1 April 2011.
12. Manifestasi penyakit hepatitis terhadap rongga mulut. Available from: URL: http://www.scribd.com/doc/34869862/Manifestasi-Penyakit-Hepatitis-Terhadap-Rongga-Mulut diakses tanggal 1 April 2011
13. Carozzo M, Gandolfo S. Oral diseases possibly associated with hepatitis C virus. Crit Rev Oral Biol Med. 2003; 14(2): 115-127.
PENELITIAN
CIRI-CIRI RADIOGRAFI GIGI DAN RAHANG PADA THALASEMIA MAYOR
AM Hazza’a* and G Al-Jamal
Bagian Ilmu Penyakit Mulut dan Bedah Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Yordania Sains dan Teknologi, Irbid, Yordania.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perubahan radiografi akar dan panjang badan mahkota dari molar pertama permanen rahang bawah pada kelompok pasien penderita thalasemia dengan kelompok kontrol, yang dicocokkan untuk usia dan jenis kelamin.
Metode: Radiografi Panoramik dari 50 pasien thalasemia dan 50 kontrol diperiksa
adanya perubahan radiologis. Bagian mahkota dan panjang akar ditentukan dengan menggunakan metode Seow dan Lai. Panjang rata-rata dihitung dan dibandingkan antara kedua kelompok.
Hasil: Panjang rata-rata dari badan mahkota dan akar molar pertama rahang bawah pada pasien dengan thalasemia mayor adalah 9,58 ± 0,83 mm dan 11,89 ± 1,33 mm, sedangkan untuk kelompok kontrol masing-masing adalah 10,45 ± 0,78 mm dan 12,78 ± 1,67 mm. Sebuah perbedaan yang signifikan (P<0,05) ditemukan antara rata-rata badan mahkota dan nilai-nilai akar dari dua kelompok. Perbedaan yang signifikan (P<0,05) juga ditemukan antara pasien thalasemia dan kontrol adalah terjadinya akar bentuk runcing, akar dan mahkota panjang, taurodontisma, melemahnya lamina dura, ruang sumsum tulang diperbesar, sinus maksila kecil, kanal alveolar inferior dan korteks mandibula tipis.
Kesimpulan: Meskipun thalasemia mayor tidak dapat dikaitkan dengan terjadinya kanalisasi vaskular atau lekukan antegonial menonjol, akar runcing dan pendek, taurodonts, lamina dura melemah, ruang-ruang sumsum tulang diperbesar, sinus maksila kecil, tidak adanya alveolar inferior kanal dan korteks mandibula yang ditemukan menjadi kriteria diagnostik yang dapat dipercaya untuk thalasemia mayor.
Dentomaxillofacial Radiology (2006) 35, 283–288. doi: 10.1259/dmfr/38094141
Kata Kunci: Radiografi; panoramic; thalassaemia; rahang abnormal; gigi
Pengantar
Thalasemia dianggap sebagai kelainan genetik yang paling umum diseluruh dunia. Gangguan kondisi ini pertama kali digambarkan oleh Thomas B Colley dan Lee Mutiara Detroit pada tahun 1925 dan muncul dalam halaman artikel berjudul "Serangkaian kasus dari splenomegali pada anak dengan anemia dan perubahan kurus yang aneh". "Thalassemia" adalah istilah yang pertama kali digunakan oleh Wipple dan Bradford pada tahun 1932 dalam artikel mereka pada kondisi patologi. Kata ini berasal dari thalas Yunani artinya laut. Thalasemia mengacu pada sekelompok yang mewarisi anemia hemolitik yang melibatkan kerusakan sintesis rantai polipeptida baik α atau β pada hemoglobin -thalasemia, β-thalassemia). Berdasarkan entitas genetik dan klinis, thalasemia diklasifikasikan sebagai homozigot, heterozigot ataupun heterozigot gabungan. Bentuk heterozigot pada penyakit (thalasemia minor) biasanya tidak menimbulkan gejala dan ringan; manifestasinya hanya anemia mikrositik hipokromik. Β thalasemia adalah bentuk heterozigot (thalasemia mayor) memperlihatkan gejala klinis paling berat ditandai dengan deformitas orofasial. β- thalasemia homozigot, juga dikenal sebagai Cooley's anemia atau anemia Mediterania, terlihat terutama di populasi Mediterania, dengan prevalensi sebesar 15-20% di Yunani, Turki, Siprus dan Itali bagian selatan. Timbulnya gejala awal terjadi pada masa bayi dan pasien mengalami anemia parah dan memiliki harapan hidup pendek. Pasien dengan penyakit paling parah jarang bertahan hidup sampai dewasa karena gagal jantung, anemia kronis dan hypoxia. Namun, dengan manajemen modern, prognosis telah sangat meningkat. Pasien yang menderita penyakit ini bergantung pada anastesi yang cukup besar resikonya. Manifestasi oral dan fasial yang paling umum adalah pembesaran pada maksila, tengkorak dan puncak molar menonjol disebabkan oleh hiperplasia pergantian yang intens pada sumsum. Hal ini menyebabkan perluasan rongga sumsum dan penamilan wajah “chipmunk” face. Pertumbuhan berlebih dari rahang atas sering mengakibatkan bertambahnya overjet dan jarak gigi rahang atas dan derajat lain dari maloklusi.
Praktisi gigi umum, terutama mereka yang bekerja di komunitas multiras, harus menyadari sifat penyakit dan implikasinya terhadap perawatan gigi. Di
Yordania, terdaftar sekitar 1000 kasus thalasemia mayor (1:4600 dari total populasi) dengan meningkat tiap tahun dari 80 kasus dan membentuk carrier 7-10% dari
populasi.
Peninjauan literatur mengungkapkan sedikit informasi tentang perubahan radiologi gigi dan rahang pada thalasemia mayor. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki perubahan radiografi rahang dan gigi, dan untuk mengevaluasi panjang mahkota dan akar pada pasien penderita thalasemia dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sama usia dan jenis kelaminnya.
Bahan dan Metode
Sebanyak 54 pasien dengan β-thalassemia mayor dirujuk dari Pusat Thalassaemia di Rumah sakit Princess Rahma di Irbid, Yordania untuk perawatan gigi di Pusat Pengajaran Gigi Universitas Yordania Sains dan Teknologi. Sebuah radiografi panoramic diambil untuk masing-masing pasien, dengan menggunakan model Orthopantomographw PM 2002 CC prolin (Planmeca, Helsinki, Finlandia). Digunakan T-MAT G film dengan layar Lanex intensif reguler (Eastman Kodak, Rochester, NY). Film-film itu diproses di prosesor yang otomatis (XR 24; Du ¨ rr Gigi, Bietigheim-Bissingen, Jerman) menggunakan RP X-Omat (Eastman Kodak). Empat radiografi panoramik dikeluarkan dari penelitian ini karena kesalahan posisi yang mengakibatkan jumlah distorsi tidak dapat diterima.
Sebelum pemeriksaan, sepuluh radiografi panoramik dipilih secara acak dari bagian ini dan diperiksa secara terpisah oleh peneliti ​​(ahli oral radiologi) untuk setiap kemungkinan perubahan radiologi. Akibatnya, diputuskan untuk meninjau radiografi untuk setiap terjadinya tanda-tanda radiografi:
(1) Akar runcing dan pendek
(2) Taurodontisma
(3) Pembesaran ruang sumsum tulang
(4) Keberadaan kanal vaskuler
(5) Tipisnya lamina dura
(6) Sinus maksila mengecil
(7) Lekukan antegonial menonjol
(8) Ketebalan korteks inferior rahang bawah
(9) Identifikasi saluran alveolar inferior
Untuk menentukan variasi intraobserver, panoramik radiografi yang sama ditinjau dua kali oleh dua ahli radiologi secara terpisah pada kesempatan yang berbeda dengan interval waktu 2 minggu. Interobserver variasi dihitung dengan membandingkan hasil dari dua peneliti menggunakan indeks Kappa dan persetujuan secara keseluruhan.
Untuk memastikan konsistensi interpretasi radiografi, kedua peneliti mendiskusikan kriteria untuk masing-masing tanda radiografi dan kemudian diperiksa dalam kondisi ideal termasuk penggunaan lampu redup, menutup film dan melihat kotak konvensional (Exal-Type FID-1, Basingstone, Inggris) dengan intensitas variabel cahaya dan memperbesar lensa 2 kali (X-penampil, Malmo, Swedia).
Demi penelitian yang lebih objektif, gigi molar diteliti untuk taurodontisma seperti yang diusulkan oleh Tulensalo dkk. Gigi diklasifikasikan sebagai taurodontic ketika jarak antara garis datar yang menghubungkan mesial dan distal di titik persimpangan cementoenamel dan titik tertinggi dari lantai di ruang pulpa mencapai atau melebihi 3,5 mm.
Untuk menentukan panjang badan mahkota dan akar, molar pertama permanen rahang bawah dipilih karena diketahui bahwa jumlah distorsi dari radiografi panoramic yang mempengaruhi gigi ini akan sedikit. Metode Seow dan Lai diikuti: Secara singkat, garis-garis besar rahang bawah molar pertama ditransfer ke kertas kalkir asetat menggunakan pensil (2B, 0,25 mm). Sebuah garis mewakili panjang sumbu gigi kemudian ditarik dari lubang terdalam dilacak dan berjalan melalui daerah pencabangan. Panjang badan mahkota ditentukan dengan mengukur jarak pit oklusal terdalam ke daerah percabangan di sepanjang panjang sumbu ditarik. Panjang akar ditentukan dari pencabangan daerah ke puncak paling apikal sepanjang sumbu panjang yang diambil sebelumnya.
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kaliper elektronik digital dengan ketelitian 0,05 mm (Mitutoyow, Tokyo, Jepang). Semua pengukuran dilakukan tiga kali oleh satu pemeriksa (GA), rata-rata dihitung. Rasio badan mahkota/akar didefinisikan dan dihitung sebagai panjang badan mahkota dibagi dengan panjang akar.
Ketebalan dari korteks mandibula inferior di daerah molar didefinisikan sebagai jarak antara inferior dan superior perbatasan korteks. Tiga pengukuran dengan menggunakan elektronik sliding caliper digital yang sama, karena itu dibuat pada kedua sisi kiri dan kanan sepanjang sumbu panjang dari molar pertama, yang tegak lurus ke garis singgung, untuk batas bawah dari mandibula. Ketebalan batas bawah dari mandibula dianggap normal bila diukur 6 mm atau lebih dan tipis ketika mengukur 4 mm atau kurang.
Untuk tujuan perbandingan dan mencoba menentukan validitas dari temuan yang diperoleh dari memeriksa radiografi panoramik dari subjek yang diteliti, total 50 radiografi panoramik kontrol dicocokkan kelompok usia dan jenis kelamin yang dikumpulkan secara acak dari Departemen Pencegahan Kedokteran Gigi dan ditinjau dalam kondisi yang sama.
Data yang diperoleh dianalisis dengan (SPSS) untuk Windows (Chicago, IL). Perbedaan dalam perubahan radiologi antara pasien thalasemia dan kelompok kontrol diuji menggunakan uji Chi-square (x2). Perbedaan tinggi mahkota, panjang akar, dan badan mahkota: rasio akar antara kedua kelompok diuji dengan menggunakan uji t-independen. Perbedaan yang signifikan secara statistik dianggap ada nilai P <0.05.
Hasil
Distribusi umur dan jenis kelamin baik kelompok penderita thalasemia dan kelompok kontrol ditunjukkan pada Tabel 1. Kisaran usia seluruh peserta kelompok adalah antara 6 tahun dan 18 tahun. Sampel penelitian ini dibagi menjadi dua sub kelompok menurut tahap pembentukan akar molar pertama rahang bawah. Pada Tahap 1, akar molar pertama permanen rahang bawah tidak sepenuhnya terbentuk (usia rata-rata 7,15 0,95 ± tahun untuk pasien thalasemia dan 7,21 ± 1,08 tahun untuk kelompok kontrol). Dalam tahap 2, akar sepenuhnya terbentuk dan usia rata-rata untuk thalasemia dan kelompok kontrol masing-masing (13,58 ± 2,72) dan (13,67 ± 2,65). Selain itu, rasio pria ke wanita dari kedua kelompok adalah serupa.
Table 1 Age and sex distribution of the sample population
Stage of development
Thalassaemia major
Control group
Stage one
Male
Female
Age (mean ± SD)
Stage two
Male
Female
Age (mean ± SD)
14
5
7.15 ± 0.95
15
16
13.58 ± 2.72
14
5
7.21 ± 1.08
15
16
13.67 ± 2.65
Indeks Kappa dan ketetapan persetujuan intraobserver dalam mengevaluasi tanda-tanda radiografi masing-masing adalah 0,89 dan 94%. Dalam menilai kinerja interobserver, indeks Kappa 0,82 dan keseluruhan perjanjian adalah 88%. Frekuensi terjadinya tanda-tanda radiografi dicatat dalam Tabel 2.
Table 2 The frequency of occurrence of radiographic signs in patients with thalassaemia major compared with the control group
Radiographic signs
Thalassaemia major (no: 50)
Control group (no: 50)
P-value
Spiky root
Taurodontism
Large bone marrow space
Presence of vascular canal
Faint lamina dura
Small maxillary sinus
Prominent antigonial notch
Identification of inferior dental canal
Cortex thickness (mean mm ± SD)
13 (26%)
17 (34%)
21 (42%)
13 (26%)
23 (46%)
25 (50%)
9 (18%)
9 (18%)
2.47 ± 0.77
4 (8%)
4 (8%)
4 (8%)
16 (32%)
3 (6%)
2 (4%)
7 (14%)
46 (92%)
4.2 ± 0.78
0.002
0.001
0.000
0.509
0.000
0.000
0.585
0.000
0.000
Gigi
Pada pasien penderita thalasemia, terlihat 13 (41,9%) radiograf akar runcing yang berkembang sepenuhnya, sedangkan hanya empat (9,5%) radiograf dari kelompok kontrol diperlihatkan dalam variasi ini (Gbr.1). Secara statistik perbedaan signifikan (P=0,002) yang ditemukan terdapat antara penderita thalasemia dan subjek kontrol. Gigi yang paling terpengaruh adalah molar pertama rahang bawah, diikuti oleh premolar pertama rahang bawah, pada kedua kelompok.

Figure 1 Panoramic radiograph demonstrating mandibular molars with thin, spiky roots
Dua puluh delapan radiografi panoramik dari pasien penderita thalasemia cocok untuk penilaian panjang badan mahkota dan akar. Jumlah radiografi panoramik yang sama terhadap kesehatan, anak normal, usia dan jenis kelamin yang dicocokkan, dipilih untuk tujuan perbandingan. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3, berarti panjang tubuh mahkota molar pertama rahang bawah dari pasien dengan thalasemia mayor adalah 9,58 ± 0,83 mm (kisaran 7,60-10,75 mm) dibandingkan dengan 10,45 ± 0,78 mm (kisaran 8,80 11,95 mm). Perbedaan yang sangat signifikan (P=0,000) ditemukan antara nilai mahkota dari dua kelompok. Selain itu, nilai panjang akar molar pertama rahang bawah pada pasien dengan thalasemia adalah 11,89 ± 1,33 mm (kisaran 9,90- 15,37 mm) dibandingkan dengan 12,78 ± 1,67 mm (kisaran 10,62-16,94 mm) untuk kelompok kontrol. Perbedaan nilai rata-rata akar adalah signifikan secara statistik (P=0,032). Sebaliknya, rasio rata-rata tubuh mahkota/akar ditemukan menjadi 0,81 ± 0,10 mm pada pasien thalasemia dibandingkan dengan 0,82 ± 0,11mm pada kelompok kontrol. Perbandingan ini menunjukkan ada perbedaan yang signifikan (P=0,60) pada nilai rasio rata-rata mahkota/akar antara kedua kelompok.
Table 3 Crown-body (CB) and (R) lengths of patients with thalassaemia major compared with the control group
Subjects
Crown-body length
Root length
CB:R ratio
(mean mm ± SD)
(mean mm ± SD)
Range (mm)
(mean mm ± SD)
Range (mm)
Thalassaemia patients
Controls
9.58 ± 0.79
10.45 ± 0.78
7.60–10.75
8.80–11.95
11.89 ± 1.33
12.78 ± 1.67
9.90–15.37
10.65–16.94
0.81 ± 0.10
0.82 ± 0.11
Taurodontisma yang dicatat pada 17 (34%) pasien dengan thalasemia mayor dibandingkan dengan 4 (8%) dari kelompok kontrol (Gbr.2). Sebuah perbedaan yang signifikan terdeteksi antara kedua kelompok (P=0,001). Taurodont lebih sering terjadi pada rahang atas daripada di rahang bawah, dan molar pertama rahang atas adalah gigi yang paling umum yang terlibat, diikuti oleh molar pertama rahang bawah. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai distribusi melalui laki-laki dan perempuan pada kedua kelompok.

Figure 2 Panoramic radiograph demonstrating taurodontism of them axillary molars
Lamina Dura
Lamina dura yang tipis teridentifikasi pada 23 (46%) pasien penderita thalasemia, sedangkan hanya 3 (6,0%) radiograf dari kelompok kontrol menunjukkan ciri radiografi ini (Gbr.3). Perbedaan yang signifikan secara statistik (P=0,000) ditemukan antara thalasemia dan kelompok kontrol.

Figure 3 Panoramic radiograph demonstrating areas of thin lamina dura
Rahang Atas dan Rahang Bawah
Besarnya ruang sumsum tulang terutama terlihat pada daerah posterior rahang bawah pada 21 pasien dengan thalasemia mayor (42%) dibandingkan dengan 4 (8%) dari kelompok kontrol (Gbr.4). Perbedaan yang sangat signifikan (P=0,000) ditemukan antara kedua kelompok. Tidak ada hubungan yang signifikan antara tampilan radiografi ini baik usia pasien dan jenis kelamin.

Figure 4 Panoramic radiograph demonstrating large bone marrow spaces in the mandible
Saluran vascular (radiolusen melingkar di alveolus) diamati pada 13 radiografi pasien penderita thalasemia (26%) dibandingkan dengan 16 radiografi kelompok kontrol (32%). Tidak ada terdeteksi perbedaan yang signifikan. Dalam kedua kelompok, bagian yang paling umum adalah anterior dan bagian posterior rahang bawah.
Pada pasien thalasemia, sinus maksilari yang kecil diamati pada 25 (50%) dari radiografi panoramik, sedangkan 10 (20%) radiograf menunjukkan tidak adanya ciri anatomis seperti pada radiograf (Gbr.5). Perbedaan signifikan (P=0,000) ditemukan antara kedua kelompok. Pada kelompok kontrol, sinus maksilari yang kecil terlihat dalam dua (4,0%) radiografi panoramik, tetapi ketidaklengkapan sinus-sinus ini tidak terlihat di kelompok ini.

Figure 5 Panoramic radiograph demonstrating small maxillary sinus and thin mandibular cortex
Lekukan antagonial yang menonjol diamati pada 9 (% 18) thalasemia kasus mayor dibandingkan dengan 7(14%) radiografi yang berhubungan kelompok kontrol. Tidak ada hubungan signifikan antara temuan radiologi dan thalassemia yang dideteksi.
Korteks yang tipis, pada batas ketebalan inferior mandibula, yang diukur di daerah molar pertama permanen menggunakan caliper digital, ditemukan antara 1 mm dan 4 mm (rata-rata 2,47±0,77). Pada sebagian besar pasien (60%), batas ketebalan yang rendah adalah antara 1 mm dan 2,5 mm, sedangkan sisanya itu diukur antara 3 mm dan 4 mm (Gbr.5). Sebaliknya, data kelompok kontrol menunjukkan bahwa batas ketebalan inferior yang ditemukan antara 3 mm dan 6 mm (rata-rata 4.2±0,78). 35 pasien (70%) adalah antara 4,5 mm dan 6 mm. Perbedaan nilai rata-rata antara kedua kelompok signifikan secara statistik (P =0,000).
Kedua batas saluran alveolar inferior secara jelas menunjukkan bahwa hanya 9 (18%) kasus thalasemia dibandingkan dengan 46 (92%) subyek kelompok kontrol
(Gbr.6). Tidak lengkapnya batas dari kedua saluran superior dan inferior terlihat pada 33 pasien (66%) sedangkan tidak terlihat batas yang jelas pada 8 pasien thalasemia (16%). Perbandingan ini mengindikasikan perbedaan yang signifikan (P=0,000) antara kedua kelompok.

Figure 6 Panoramic radiograph demonstrating absence of both superior and inferior borders of the inferior alveolar canal
Diskusi
Thalassaemia adalah salah satu yang paling banyak didistribusikan gangguan genetik yang menyebabkan masalah utama dalam kesehatan masyarakat. β-thalasemia mayor adalah kondisi yang mengancam jiwa yang ditandai dengan anemia berat, hepatosplenomegali, retardasi pertumbuhan, perubahan kerangka akibat hipertrofi dan perluasan sumsum erythroid, kerentanan terhadap disfungsi infeksi, endokrin dan gagal jantung serta deposisi besi di myocardium. Manifestasi oral penyakit klinis telah dijelaskan, namun studi ini dapat menjadi upaya pertama untuk mengidentifikasi perubahan radiologis yang obyektif pada individu-individu dengan thalasemia mayor dan membandingkan temuan dengan subjek kelompok sehat yang cocok.
Ada sedikit informasi tentang panjang akar dan tubuh mahkota dalam thalasemia mayor. Misalnya, Poyton dan Davey menyatakan bahwa pemendekan akar diamati pada 56% sampel mereka dan berkomentar bahwa perubahan ini tidak terlalu jelas dalam beberapa kasus. Namun, evaluasi obyektif dengan panjang akar pada pasien yang terkena belum dicoba sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total rata-rata panjang akar pada pasien thalasemia adalah 7% (0,89 mm) kurang dari yang dikontrol, yang sesuai dengan laporan Poyton dan Davey di atas. Untuk panjang tubuh mahkota, penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata panjang tubuh mahkota adalah sekitar 8,3% (0,87 mm) lebih pendek pada pasien dengan thalasemia mayor dibandingkan dengan subyek sehat yang normal. Meskipun perbedaan panjang untuk kedua akar dan badan mahkota minimal, sebuah hubungan yang signifikan ditemukan ketika dua kelompok dibandingkan dengan satu sama lain. Tampaknya berbagai faktor genetik dan lingkungan, seperti disfungsi endokrin dan kekurangan somatomedin, mempengaruhi ukuran gigi di thalasemia mayor sebagai bagian dari efek umum mereka pada retardasi pertumbuhan. Namun, kontribusi relatif faktor-faktor ini untuk dimensi gigi perlu dinilai.
Taurodontisma telah dilaporkan berkaitan dengan sindrom tertentu dan gangguan perkembangan gigi seperti hypodontia, amelogenesis dan dentinogenesis imperfecta, sindroma displasia ectodermal, tricho-dento osseous sindrom, Moohr sindrom, Klinefelter's syndrome, dan Down syndrome. Namun, menurut ilmu pengetahuan penulis, belum ada penelitian lain hingga saat ini yang menggambarkan terjadinya taurodontisma pada pasien dengan thalassemia mayor. Taurodontisma biasanya didiagnosis melalui pemeriksaan radiografi. Hasil Penelitian ini telah menunjukkan prevalensi keseluruhan taurodontisma sebesar 34% untuk kelompok thalasemia dan 8% untuk kelompok kontrol. Ketika hanya radiografi panoramik
pada molar pertama yang dianggap sepenuhnya terbentuk, angka-angka ini meningkat menjadi 53% dan 12,5%. Selain itu, prevalensi taurodonts di kedua kelompok merata antara laki-laki dan perempuan, yang sesuai dengan temuan dari penelitian lain. Temuan kami menunjukkan taurodontisma mungkin menjadi ciri yang harus dipertimbangkan pada thalasemia mayor.
Ruang sumsum tulang yang besar, yang mudah dan cepat dikenali, adalah salah satu ciri-ciri radiografi yang penting pada thalasemia. Penjelasan ini dapat dijelaskan dengan fakta yang ada, ketika eritropoesis tidak efektif merusak membran sel darah merah yang menyebabkan anemia berat, tubuh merespon dengan menambah jumlah sel darah merah, menyebabkan ekspansi sumsum tulang meningkat 15-30 kali dari jumlah normalnya.
Sinus maksilari yang kecil secara jelas diamati pada pasien thalasemia; tidak ada tanda radiografi yang terjadi pada sinus dalam 10 subjek. Temuan ini dapat dihubungkan dengan perluasan sumsum tulang yang menyebabkan hiperplasia pada prosesus alveolar rahang atas pada beban dari volume normal sinus.
Semua pasien thalasemia dalam penelitian ini menunjukkan korteks yang tipis dibandingkan dengan 15 (30%) subjek sehat, karena itu, temuan ini menunjukkan bahwa ketebalan batas inferior adalah kriteria radiografi yang valid bagi thalasemia.
Saluran alveolar inferior biasanya terlihat radiopak pada radiografi seperti dua baris sejajar: atasnya adalah kanal dan bentuk lainnya adalah lantainya. Batas radiopak dari kanal alveolar inferior 82% tidak dilihat dalam radiografi pasien thalasemia dibandingkan dengan 8% dari subyek dalam kelompok kontrol. Tidak ada yang hubungan ditemukan antara tanda radiografi, usia pasien atau jenis kelamin. Sehubungan dengan hubungan yang signifikan antara tanda dan thalassemia, harus hati-hati dalam mengambil intervensi pembedahan di daerah molar rahang bawah untuk menghindari cedera pada saraf gigi inferior.
Menurut JE Brown dan J Porter (komunikasi pribadi) ada hubungan antara tingkat perluasan dan penipisan struktur kortikal dari mandibula dan hemoglobin rata rata pasien. Seperti penurunan rata-rata hemoglobin, tingkat remodeling meningkat, dengan demikian, temuan dapat menjelaskan adanya dua baris radiopak dari saluran alveolar inferior serta penipisan batas bawah mandibula.
Kesimpulannya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanda-tanda radiografi berikut ini menawarkan beberapa bukti yang nyata bukti yang mendukung terjadinya thalasemia mayor: akar pendek dan berbentuk runcing, perluasan ruang sumsum tulang, tidak adanya lamina dura, korteks tipis, tidak adanya kanal alveolar inferior dan sinus maksilaris mengecil.

Sumber: Dentomaxillofacial Radiology (Radiographic Feature of the Jaws and Teeth in Thalassaemia Major)